Tadi malam aku melewati jalan yang selama tiga tahun ku lewati, sekarang sudah jarang aku lewati karena waktuku menimba ilmu di kampus itu sudah selesai. Ketika aku menoleh ke arah kanan ada bis bercat hijau dengan tulisan Kp.Rambutan-Bekasi Barat. Sudah jarang aku menaikimu, P9B. Bis yang akrab denganku, bahkan semua elemen di dalamnya menyenangkan dan membuat nyaman ketika aku berada di dalamnya.
Tidak sedikit kenangan ku lewati bersama P9B. Hampir setiap pagi aku tergesa-gesa, berlarian hanya mengejarmu. Telat sedikit saja aku harus menunggumu lima belas menit kemudian. Ah menunggu, perihal hidup yang katanya hanya untuk menunggu. Ini bukan masalah menunggu, ini masalah kehadiranku tepat waktu atau tidak hadir di kelas atau bahkan di lab jika ada praktikum.
Pagi, aku ingat betul jam berapa saja P9B itu melintas di jalan tempatku menunggu. Selang waktu lima belas menit jika hari biasa dan setengah jam untuk sabtu minggu. Hampir semua supir aku hafal wajahnya, aku sempat sedikit berpikir mungkin mereka juga tidak asing lagi dengan wajahku. Ah aku terlalu pemikir sepertinya, hal sepele saja aku pikirkan. Tapi entah mengapa menjadi seorang yang suka berpikir itu menyenangkan.
Suatu hari aku duduk di bangku P9B kali ini aku akan berangkat menuju kampus. Melewati gerbang tol Bekasi Barat, padatnya jalan tol dan selalu sama aku lebih memilih duduk di samping jendela bis. Kenapa? Udara yang keluar dari ventilasi itu seakan membuat aku menjadi seseorang yang bahagia karena adanya sapaan dari angin. Ternyata ketika bis akan masuk ke pintu tol Cikunir bis malah dialihkan oleh aparat berbaju cokelat untuk lurus dan mengambil arah ke Cawang. Ah ini makin lama untuk sampai tempat tujuanku. Jalan yang besar tak mampu lagi menampung banyaknya kendaraan. Akibatnya macet dan banyak yang mengeluh. Seharusnya aku sudah sampai jam tujuh pagi di tempat biasa, tapi ini aku baru sampai jam setengah sembilan. Tapi senyuman seseorang yang telah menungguku satu setengah jam lebih membuatku tenang. Aku masih ingat ketika pagi itu. Orang yang menunggu melukis senyum di wajahnya yang saat itu sangat aku nikmati.
Masih tentang pagi, ah tidak akan habis sampai kapan pun bercerita tentang pagi. Pagi itu aku duduk di P9B, agak penuh sesak bahkan bernafas saja sulit. Aku menilhat seorang perempuan berkerudung srpertinya sama seperti aku naik bis untuk pergi ke kampus. Tapi setelah beberapa lama ia jatuh pingsan, tangannya tak bisa lagi menahan badannya yang sudah lama berdiri di bis. Iya, perempuan itu jatuh. Mungkin belum sarapan atau sengaja tidak makan karena depresi habis putus cinta.
Kali ini tentang sore, aku pulang ke rumah menggunakan bis P9B. Selalu suka dengan lagu-lagu yang dibawakan oleh pengamen-pengamen di dalam bis P9B. Bahkan beberapa dari mereka sering memberi tahu aku jika bis tiba sambil bilang "tuh bis nya sudah datang yang mau ke Rawa Panjang". Saat itu tidak ada yang special. Bis keluar tol Bekasi Barat tapi ketika lampu merah bia malah menyerobot dan orang akan turun pun marah karena terlewat. Supir bis menghindari polisi yang mengejarnya, penumpang yang ingin turun marah-marah berteriak ingin turun. Akhirnya keributan pun terjadi. Suasana semakin panas. Bis telah berhenti di lampu merah Pekayon. Supir bis dipukili beberapa orang penumpang yang ingin turun di lampu merah sebelumnya. Salah satu penumpang keluar dan masuk lagi, membawa batu bata dan menghantam supir bis itu, tak lama kemudian polisi datang untuk membicarakan masalah di lampu merah sebelumnya. Aku tak mengerti kenapa bisa serunyam ini. Tapi untuk tidak mau ikut campur aku langsung pergi dan melanjutkan perjalanan pulang.
Untuk P9B yang tiga tahun aku naiki tanpa adanya kenaikan tarif aku merasakan nyaman ketika berada di dalamnya, tertidur pulas, aku juga pernah menangis dan mungkin jika P9B bisa bicara akan bertanya kenapa aku menangis di tengah ramainya orang yang kelelahan setelah beraktivitas. Semalam aku melihat P9B dan memutar memori ku. Sejenak aku menoleh dan aku tau kini kau semakin tua. Hingga kau tak lagi menerobos kenangan yang jumlahnya jutaan.
Dari penumpangmu,
Nirmala Hapsari