Ada orang-orang yang bersikeras mempertahankan kenangan
dan stasiun ini seolah diperuntukan bagi orang-orang seperti itu.
Nyaris tak ada yang berubah.
Peron, gerbong kereta, loket, toilet, musholla, minimarket dan ruang tunggu.
Bertahun lalu, tempat ini menjadi titik temu kita. Entah kenapa kali ini kamu memilih tempat ini lagi.
Ramai.
Dengan kondisi seperti ini pun aku masih bisa mengenalimu dari kejauhan di balik badanmu.
Hingga sampai sekarang, saat aku menulis ini, aku tidak tahu, masih tidak paham, kenapa tuhan masih mempertemukan kita untuk kali yang sekian. Padahal dulu ketika pertama kali bertemu, namamu saja aku tak tahu.
Lantas, apa yang kita tuntut dari sebuah pertemuan?
Pertemuan berikutnya dengan (tak) ada harap?
Ditelingaku,
segala diammu terdengar lebih merdu,
syahdu.
Dimataku,
wajah dinginmu masih jauh lebih indah dibanding warna senja di pantai manapun.
Kita mungkin sedang saling menunggu sebuah pertanyaan atau pernyataan. Yang kita sendiri sudah sulit untuk membedakan.
Tapi kita sudah terlanjur percaya pada diam kita masing-masing.
Kita juga percaya bahwa diam kita sebenarnya saling bercerita, saling bercengkrama.
Kita sampai pada tempat yang membuat kita tersesat untuk sampai.
Kerumunan kecil, tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Sekedar menikmati churros green tea dan es jeruk. Menyenangkan.
Hingga akhirnya kita sama-sama memikirkan tentang doa saat kita dipertemukan akankah tuhan menghentikan waktu yang terus berjalan dan terasa cepat.
Dalam lamunanku setelah kita dipisahkan oleh kereta yang berhenti di salah satu stasiun, 'tidak ada puisi untuk kita malam ini, ada saatnya pertemuan harus kita lewati tanpa indahnya metafora apa pun.
dan stasiun ini seolah diperuntukan bagi orang-orang seperti itu.
Nyaris tak ada yang berubah.
Peron, gerbong kereta, loket, toilet, musholla, minimarket dan ruang tunggu.
Bertahun lalu, tempat ini menjadi titik temu kita. Entah kenapa kali ini kamu memilih tempat ini lagi.
Ramai.
Dengan kondisi seperti ini pun aku masih bisa mengenalimu dari kejauhan di balik badanmu.
Hingga sampai sekarang, saat aku menulis ini, aku tidak tahu, masih tidak paham, kenapa tuhan masih mempertemukan kita untuk kali yang sekian. Padahal dulu ketika pertama kali bertemu, namamu saja aku tak tahu.
Lantas, apa yang kita tuntut dari sebuah pertemuan?
Pertemuan berikutnya dengan (tak) ada harap?
Ditelingaku,
segala diammu terdengar lebih merdu,
syahdu.
Dimataku,
wajah dinginmu masih jauh lebih indah dibanding warna senja di pantai manapun.
Kita mungkin sedang saling menunggu sebuah pertanyaan atau pernyataan. Yang kita sendiri sudah sulit untuk membedakan.
Tapi kita sudah terlanjur percaya pada diam kita masing-masing.
Kita juga percaya bahwa diam kita sebenarnya saling bercerita, saling bercengkrama.
Kita sampai pada tempat yang membuat kita tersesat untuk sampai.
Kerumunan kecil, tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Sekedar menikmati churros green tea dan es jeruk. Menyenangkan.
Hingga akhirnya kita sama-sama memikirkan tentang doa saat kita dipertemukan akankah tuhan menghentikan waktu yang terus berjalan dan terasa cepat.
Dalam lamunanku setelah kita dipisahkan oleh kereta yang berhenti di salah satu stasiun, 'tidak ada puisi untuk kita malam ini, ada saatnya pertemuan harus kita lewati tanpa indahnya metafora apa pun.